skip intro/masuk

Logo sciemics

Jumat, 18 Juli 2014

Moneter Konvensional atau Moneter Islam? (Mumuh Muhammad _ Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam 2013)

Share on :

Kali pertama saya mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2014 jauh melambat dibandingkan laju pertumbuhan selama ini. Berdasarkan publikasi BPS pertumbuhan kuartal I 2014 hanya 5,21 persen. Sebagai perbandingan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2013 mencapai 5,72 persen, pada kuartal I 2012 mencapai 6,33 persen, dan pada kuartal I 2011 di posisi 6,44 persen ini di luar dugaan pemerintah.
            Kita hidup di negara berkembang dengan sistem ekonomi neo-liberalisme. Ketika pertumbuhan ekonomi kita meningkat, pemerintah akan merasa berbangga diri atas prestasi yang diraih. Padahal, jika kita telaah pertumbuhan ekonomi hanyalah sebuah angka saja dalam artian hanya bersifat kuantitatif tanpa diikuti oleh kesejahteraan masyarakat Indonesia.
            Kesejahteraan masyarakat yang semakin menurun menyebabkan masalah bagi kita semua. Banyaknya pengangguran maupun kemiskinan tentu sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa ini.
Mengapa itu bisa terjadi ? Sebenarnya jika kita lihat lebih jauh meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia itu lebih didominasi oleh sektor non riil daripada sektor riil. Akibatnya terjadi Ekonomi balon. Ekonomi balon. (bublle economy) adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas financial (moneter), namun tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya[1]. 
Khusus di Indonesia, rata-rata nilai transaksi non riil di BEI (Bursa Efek Indonesia) tahun 2009 ke belakang adalah Rp.7 triliun perhari[2]. Sedangkan rata-rata nilai transaksi barang dan jasa riil adalah sekitar Rp.3,5 triliun perhari[3].
Sebab ketidakseimbangan Nilai non riil dengan Nilai aset barang & jasa riil inilah yang mengakibatkan terjadinya krisis keuangan/financial yang salah satu indikatornya adalah anjloknya harga saham, anjloknya harga saham membuat para spekulan kelimpungan layaknya orang yang usahanya bangkrut membutuhkan dana segar agar tetap liquid, dan biasanya mereka membutuhkan dollar baru sebagai dana segar itu, dan jika permintaan akan dollar meningkat atau dollar banyak diminta maka sesuai hukum mekanisme pasar, harga/nilai dollar akan ikut naik (Apresiasi) sebaliknya mata uang negara setempat seperti Indonesia mata uangnya Rupiah akan terdepresiasi, nilainya akan turun.
Maka inilah kanal penghubung ekonomi non riil yang sangat rentan bisa menghancurkan ekonomi riil. Karena nilai dollar naik maka barang modal industri yang kebanyakan impor akan ikut melambung naik. Logikanya kalau barang modal naik maka secara otomatis harga jual barang/jasa akan ikut naik dan inilah yang biasa disebut oleh para Ekonom sebagai inflasi.
Naiknya harga barang/jasa untuk konsumsi membuat daya beli masyarakat turun dan naiknya harga barang modal membuat gerak produksi manufaktur melamban/stagnan dan PHK pegawai pun terjadi. Ini semua akhirnya berujung pada jatuhnya kesejahteraan masyarakat sehingga tadi krisis ekonomi pun tak terelakkan lagi, yang akhirnya jurang antara si kaya & si miskin semakin lebar.

            Pemerintah merupakan salah satu pelaku ekonomi yang memiliki peranan penting dalam membuat regulasi dan mengeluarkan kebijakan – kebijakan. Untuk  hal yang seperti ini dikenal dengan kebijakan moneter. Dimana kebijakan moneter ini untuk memelihara kestabilan nilai uang baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Stabilitas nilai uang mencerminkan stabilitas harga yang pada akhirnya akan mempengaruhi realisasi pencapaian tujuan pembangunan suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi riil yang optimum dan stabilitas ekonomi.
            Perlu diketahui bahwa selama kebijakan yang diambil itu tidak tepat, tentunya masalah krisis moneter atau krisis ekonomi itu akan berulang-ulang dan terus terjadi. Kita tahu bahwa instrumen kebijakan moneter konvensional itu terdiri dari open market operation, reserve requirement, discount rate, moral suasion. Semua kebijakan itu tentunya mengandung unsur bunga, dimana bunga ini salah satu unsur yang menyebabkan kejatuhan.
            Berbeda dengan cara-cara yang diambil dari kebijakan moneter Islam. Dalam menentukan kebijakan moneternya, bank sentral memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk menurunkan atau meningkatkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang uang beredar dalam ekonomi. Secara mendasar ada beberapa instrumen kebijakan moneter dalam Islam antara lain ; reserve ratio, moral suasion, lending ratio, refinance ratio, profit sharing ratio dan islamic sukuk.
            Sebagai bangsa dengan mayoritas umat muslim terbesar, seyogyanya masyarkat perlu tahu bahwa berekonomi yang sesuai Islam lah yang dapat memberikan maslahah dan kesejahteraan.
Islam sangat melarang adanya bunga (riba) dalam kegiatan ekonomi, selain diharamkan oleh Allah juga dapat menyebabkan ketidakadilan dalam ekonomi serta membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil). Al-qur’an dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman Allah SWT  dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi :

 وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”  
Islam juga sangat melarang uang dijadikan sebagai alat komoditas, Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang”.
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang didapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat dirasakan saat ini, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.
Meskipun mata uang sekarang bukanlah dalam bentuk dinar dan dirham tidak menutup kemungkinan kebijakan moneter islam dapat dilaksanakan. Seiring dengan berjalannya waktu kebijakan ini diharapkan bisa membantu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, keberkahan dalam hidup, dan mencapai falah. Semoga.

 


[1] Agustianto, “Telaah Terhadap Akar Krisis Keuangan Global”, diakses dari  http://www.scribd.com/doc/19094216/Telaah-Terhadap-Akar-Krisis-Keuangan-Global-New, pada tanggal 03 Desember 2009.

1 komentar:

Posting Komentar