Kali pertama saya mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada kuartal I 2014 jauh melambat dibandingkan laju pertumbuhan selama ini.
Berdasarkan publikasi BPS pertumbuhan kuartal I 2014 hanya 5,21 persen. Sebagai
perbandingan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2013 mencapai 5,72 persen, pada
kuartal I 2012 mencapai 6,33 persen, dan pada kuartal I 2011 di posisi 6,44
persen ini di luar dugaan pemerintah.
Kita hidup di negara berkembang
dengan sistem ekonomi neo-liberalisme. Ketika pertumbuhan ekonomi kita
meningkat, pemerintah akan merasa berbangga diri atas prestasi yang diraih.
Padahal, jika kita telaah pertumbuhan ekonomi hanyalah sebuah angka saja dalam
artian hanya bersifat kuantitatif tanpa diikuti oleh kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Kesejahteraan masyarakat yang
semakin menurun menyebabkan masalah bagi kita semua. Banyaknya pengangguran
maupun kemiskinan tentu sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa ini.
Mengapa itu bisa terjadi ? Sebenarnya jika kita lihat lebih jauh
meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia itu lebih didominasi oleh sektor
non riil daripada sektor riil. Akibatnya terjadi Ekonomi balon. Ekonomi balon. (bublle
economy) adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas financial
(moneter), namun tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut
amat jauh ketinggalan perkembangannya[1].
Khusus di Indonesia, rata-rata nilai transaksi
non riil di BEI (Bursa Efek Indonesia) tahun 2009 ke belakang adalah Rp.7
triliun perhari[2]. Sedangkan
rata-rata nilai transaksi barang dan jasa riil adalah sekitar Rp.3,5 triliun
perhari[3].
Sebab ketidakseimbangan Nilai non riil dengan
Nilai aset barang & jasa riil inilah yang mengakibatkan terjadinya krisis
keuangan/financial yang salah satu indikatornya adalah anjloknya harga
saham, anjloknya harga saham membuat para spekulan kelimpungan layaknya orang
yang usahanya bangkrut membutuhkan dana segar agar tetap liquid, dan
biasanya mereka membutuhkan dollar baru sebagai dana segar itu, dan jika permintaan
akan dollar meningkat atau dollar banyak diminta maka sesuai hukum mekanisme
pasar, harga/nilai dollar akan ikut naik (Apresiasi) sebaliknya mata uang
negara setempat seperti Indonesia mata uangnya Rupiah akan terdepresiasi,
nilainya akan turun.
Maka inilah kanal penghubung ekonomi non riil
yang sangat rentan bisa menghancurkan ekonomi riil. Karena nilai dollar naik
maka barang modal industri yang kebanyakan impor akan ikut melambung naik.
Logikanya kalau barang modal naik maka secara otomatis harga jual barang/jasa
akan ikut naik dan inilah yang biasa disebut oleh para Ekonom sebagai inflasi.
Naiknya harga barang/jasa untuk konsumsi
membuat daya beli masyarakat turun dan naiknya harga barang modal membuat gerak
produksi manufaktur melamban/stagnan dan PHK pegawai pun terjadi. Ini semua
akhirnya berujung pada jatuhnya kesejahteraan masyarakat sehingga tadi krisis
ekonomi pun tak terelakkan lagi, yang akhirnya jurang antara si kaya & si
miskin semakin lebar.
Pemerintah
merupakan salah satu pelaku ekonomi yang memiliki peranan penting dalam membuat
regulasi dan mengeluarkan kebijakan – kebijakan. Untuk hal yang seperti ini dikenal dengan kebijakan
moneter. Dimana kebijakan moneter ini untuk memelihara kestabilan nilai uang baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Stabilitas nilai
uang mencerminkan stabilitas harga yang pada akhirnya akan mempengaruhi
realisasi pencapaian tujuan pembangunan suatu negara, seperti pemenuhan
kebutuhan dasar, pemerataan distribusi, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan
ekonomi riil yang optimum dan stabilitas ekonomi.
Perlu diketahui bahwa
selama kebijakan yang diambil itu tidak tepat, tentunya masalah krisis moneter
atau krisis ekonomi itu akan berulang-ulang dan terus terjadi. Kita tahu bahwa
instrumen kebijakan moneter konvensional itu terdiri dari open market
operation, reserve requirement, discount rate, moral suasion. Semua
kebijakan itu tentunya mengandung unsur bunga, dimana bunga ini salah satu unsur
yang menyebabkan kejatuhan.
Berbeda dengan cara-cara yang diambil dari kebijakan
moneter Islam. Dalam menentukan kebijakan moneternya, bank sentral memerlukan
instrumen yang bebas bunga untuk menurunkan atau meningkatkan uang beredar.
Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang uang
beredar dalam ekonomi. Secara mendasar ada beberapa instrumen kebijakan moneter
dalam Islam antara lain ; reserve ratio, moral suasion, lending ratio,
refinance ratio, profit sharing ratio dan islamic sukuk.
Sebagai bangsa dengan mayoritas umat muslim terbesar,
seyogyanya masyarkat perlu tahu bahwa berekonomi yang sesuai Islam lah yang
dapat memberikan maslahah dan kesejahteraan.
Islam sangat melarang
adanya bunga (riba) dalam kegiatan ekonomi, selain diharamkan oleh Allah juga
dapat menyebabkan ketidakadilan dalam ekonomi serta membatasi eksploitasi dalam
transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya diri secara
tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil). Al-qur’an dengan
tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta secara batil
atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi :
وَلاَ
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ
وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Islam juga sangat melarang
uang dijadikan sebagai alat komoditas, Jauh
sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang
ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya
tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang”.
Dengan
demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena
manfaat yang didapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari
fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang
lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai
mejadi komoditi dapat dirasakan saat ini, yang dikenal dengan teori “Bubble
Gum Economic”.
Meskipun mata uang
sekarang bukanlah dalam bentuk dinar dan dirham tidak menutup kemungkinan kebijakan
moneter islam dapat dilaksanakan. Seiring dengan berjalannya waktu kebijakan
ini diharapkan bisa membantu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan,
keberkahan dalam hidup, dan mencapai falah. Semoga.
[1] Agustianto, “Telaah
Terhadap Akar Krisis Keuangan Global”, diakses dari http://www.scribd.com/doc/19094216/Telaah-Terhadap-Akar-Krisis-Keuangan-Global-New, pada tanggal 03 Desember 2009.
1 komentar:
Semoga...
Great article!
Posting Komentar